Rabu, 30 Juni 2021

Dua Tahun Pernikahan

Sudah lama tidak menulis lagi baik artikel ataupun cerita. Sejak beberapa hari lalu tepat saat usia anak genap 3 bulan saya memutuskan untuk kembali menulis. Setidaknya untuk pengingat diri, alat refleksi diri dan berbagi. Yaps, dan inilah tulisan pertamaku setelah menikah.

The long journey has been started here....

Aku dan suami menikah pada 28 Oktober 2018. 90 tahun lalu sekumpulan pemuda mengikrarkan sumpah setia pada Indonesia, dan 90 tahun setelahnya aku dan suami yang mengikrarkan sumpah janji suci pernikahan. Saat menikah status kami sama-sama masih mahasiswa. Aku mahasiswa koas semester akhir FK UGM dan suami mahasiswa semester akhir yang menunggu wisuda dari Fakultas Psikologi UGM.

Alhamdulillah saat itu biaya kuliah kami khususnya aku, masih ditanggung keluarga. Lalu darimana biaya hidup sehari2? Makan, biaya kontrak rumah, bensin dan lainnya? Alhamdulillah, sebelum menikah kami sempat menabung bersama dan punya usaha sablon kaos kecil-kecilan. Tidak banyak memang, namun cukup bagi kami. Keluargapun masih sering memberikan bantuan. Dan, kami tidak malu mengakui bahwa terkadang kami masih mendapat bantuan dari orang tua. Kenapa harus malu? Rezeki dari orang tua kami halal, pun kami juga mengupayakan mencari rezeki. Dan benar-benar rezeki bisa datang darimana saja, kan. MasyaAllah.

Setelah beberapa bulan berlalu, Alhamdulillah suami diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta dan aku menunggu ujian kompetensi dokter. Disini kondisi ekonomi semakin membaik karena suami sudah memiliki gaji tetap. Dalam masalah nafkah Insyaallah suami memberikan sebagian hartanya untukku, ada juga yang ditabung dan digunakan sendiri. Pengelolaan harta kami pada prinsipnya terpisah antara suami dan istri namun kami tetap memiliki tabungan bersama untuk kondisi darurat. Hal ini teman-teman bisa baca juga lebih lanjut di https://www.ibupedia.com/ tepatnya di https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/bagaimana-hak-istri-dalam-gaji-suami-menurut-islam yaa.

Kurang lebih 6 bulan setelah suami diterima di Jakarta, aku sudah meraih gelar dokter dan suami memutuskan untuk mendaftar di salah satu BUMN di Madiun, tempatnya tinggal selama ini. Masa-masa ini adalah masa kegalauan untuk memutuskan dimana aku akan menjalani program dokter internsip. Apakah akan melanjutkan LDR atau berkumpul bersama lagi. Karena posisinya saat itu suami belum pasti akan melanjutkan di Jakarta atau diterima di Madiun. Qadarullah, Allah Maha Baik. Allah dengar dan jawab pertanyaan kami. Sebulan sebelum pemilihan tempat internsip, suami diterima di BUMN di Madiun.

Dan, saat pemilihan tempat internsip pun tiba. Ini adalah waktu yang menegangkan karena aku harus memilih secara online dan bersaing dengan ribuan orang di Indonesia. Aku berfokus untuk memilih tempat internsip di Madiun. Sayangnya, saat pemilihan pertama aku gagal (kalah cepat) memilihnya. Di waktu pemilihan kedua (terakhir), aku benar-benar berdoa dan berharap bisa mendapat tempat internsip di Madiun. Dan sekali lagi, Allah kabulkan hajat kami. Alhamdulillah setelah menjalani masa2 LDR dari awal menikah kami bisa berkumpul lagi setelah satu tahun lamanya.

Oh ya, mungkin ada yang bertanya-tanya, ini sudah setahun menikah apakah sudah hamil dan punya anak? Jawabannya, belum. Nah, mungkin ada yang tanya lagi nih  emang menunda apa gimana? Jawabannya, tidak. Kami tidak menunda pun juga kami belum melakukan langkah-langkah promil. Karena sejak awal menikah, meskipun kami kontrak rumah bersama, aku hampir tidak pernah di rumah karena koas di luar kota bahkan provinsi. Setelah aku selesai koas, suami giliran bekerja di Jakarta. Ya, ini rezeki kami. InsyaAllah kisah tentang kehamilan dan persalinan akan ditulis terpisah ya...

Kami tinggal di Madiun di rumah orang tua suami. Bapak dari suami sudah tiada sejak suami SMA, hanya ibu yang tersisa, di umur yang tidak lagi muda. Suami adalah anak satu-satunya sehingga ini merupakan tugas mulia dan kesempatan istimewa bgagi kami dapat menjaga ibu di sisa umurnya. Mungkin ada beberapa orang yang berprinsip setelah menikah itu jangan campur lagi sama orang tua, supaya mandiri, mengurangi gesekan atas perbedaan dan lainnya. Hmm, ya itu bagus dan boleh saja dilakukan namun jangan paksakan pendapat itu pada semua orang. Kami mengambil sisi lain bahwa ini adalah bakti kami pada orang tua. Jika bukan kami siapa yang akan menjaga dan mengurus ibu? Jika bukan sekarang, kapan lagi datang kesempatan berharga seperti ini untuk kedua kalinya? Sekali lagi bukan karena tak ingin hidup mandiri dan vebas dsri intervensi orang ketiga dalam berumah tangga, karena toh saat awal menikah dan hidup di Jogja kami telah menjalani itu. Takdir baik Allah lah yang menuntun dan membuat kami memilih pilihan ini. InsyaAllah kami mulai dengan basmalah di fase kehidupan kami yang baru ini.

Saat suami bekerja di Madiun, gajinya separuh dari yang ia dapatkan di Jakarta. Bayangkan, separuhnya! Namun Alhamdulillah Allah beri keberkahan padanya. Nyatanya lagi-lagi uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kami serumah. Pun suami juga dapat menabung untuk pendaftaran haji. Nah perihal haji ini, karena aku sudah didaftarkan orang tua saat masih kuliah, maka dari awal menikah kami sepakat untuk mendahulukan kewajiban kami pada Allah, sehingga alokasi tabungan kami yang masih seadanya ini kami gunakan semua untuk pendaftaran haji ataupun sunnah berqurban saat Idul Adha. Prinsip kami adalah dahulukan urusan dengan Allah maka Allah akan memudahkan urusan kita yang lainnya.

Meskipun semua telah berjalan dengan baik, namun akupun seorang manusia biasa yang selalu mendambakan kehadiran malaikat kecil di kehidupan kami. Sudah hampir 1 tahun 8 bulan kami belum dikaruniai anak. Jika dari definisi infertil (tidak subur) yang mana belum hamil dalam waktu satu tahun dengan hubungan intim rutin 2-3x seminggu, sebetulnya kami belum memenuhi definisi itu karena seperti cerita di awal, kami menjalani LDR sejak awal menikah. Namun banyaknya pertanyaan dari keluarga terkadang membuatku risih dan akhirnya aku mengutarakan terkait rencana promil bulan depan, bertepatan saat stase internsip ada di bagian obsgyn. Suamipun menyetujuinya. Bismillah, kami mulai serius melangitkan doa dan berikhtiar. 

Dan, lagi-lagi nikmat Allah mana yang harus kami dustakan. Belum saatnya memasuki stase obsgyn, Alhamdulillah puji syukur kami pada Allah, Allah berikan dua garis biru pada testpack yang aku lakukan. MasyaAllah, aku begitu terharu dengan kebaikan Allah, tepat 2 bulan sebelum internsip selesai, Allah titipkan malaikat kecil itu dalam rahimku. Waktu dan ketetapan Allah memanglah yang terbaik. MasyaAllah.

Aku tak mengatakan perjalanan dan kehidupan rumah tangga kami berjalan mulus tanpa masalah, tapi Alhamdulillah setiap Allah berikan ujian, Allah pula yang membantu kami melewatinya. LDR sejak awal menikah adalah ujian, tapi Allah kuatkan cinta kami dengannya. Kondisi ekonomi yang pas-pasan saat awal menikah adalah ujian, tapi Allah kirimkan rezeki dari banyak pintu untuk kami. Uang makan yang juga tak banyak dan harus pandai menghemat nyatanya Allah tetap cukupkan bahkan lebihkan untuk memberi jamuan makan kepada setiap tamu yang datang berkunjung. Kondisi rumah kontrakan kami di Jogja tak jarang mengalami bocor, banjir bahkan susah air, tapi Allah beri berita gembira dengan diterimanya suami di Jakarta. Pada kondisi seperti ini, kami masih terus menjalankan komunitas Cendekia Membumi (bergerak di bidang sosial khususnya pendidikan anak) di Madiun meskipun terasa berat dan terseok-seok terkendala SDM, pendanaan dan waktu. Kini, jika kuingat kembali, maka hati terasa hangat dan mata berkaca-kaca.

Yang kami pelajari dan ambil hikmah dari perjalanan awal menikah kami hingga titik ini adalah kami betul-betul merasakan bahwa pertolongan Allah itu nyata, bahwa di setiap kesulitan ada kemudahan, bahwa saat kita mendahulukan Allah maka Allah benar-benar akan memudahkan urusan kita, dan lagi nikmat Allah mana yang kita dustakan, karena bahkan tiap hembusan napas dan denyut nadi kita adalah hal yang patut disyukuri.

Pesan cinta dari kami, nikah muda boleh tapi pelajari dan siapkan dulu segala sesuatunya. Dari kewajiban dan hak suami istri, kesehatan terutama gizi dan reproduksi, pengelolaan keuangan, penjagaan ibadah pada Allah, manajemen waktu – emosi – konflik, semuanya perlu dipelajari dan disiapkan. Supaya kita paham konsekuensi, tanggung jawab, tugas dan kewajiban apa yang akan kita hadapi saat menjalani masa pernikahan. Karena pernikahan adalah mitsaqan ghalizan. Perjanjian suci nan akbar yang disaksikan Allah dan penduduk langit. Yang di dalamnya segala ibadah berpotensi dilipatgandakan pahalanya.

InsyaAllah cerita lebih lengkap tentang proses kami menjemput hadirnya malaikat kecil kami akan kutulis terpisah. Bagaimana persiapan status gizi yang lebih baik, kenapa harus diperbaiki, apa saja yang dilakukan saat promil, hingga proses persalinan dan pasca salin, InsyaAllah akan kubagikan di tulisan berikutnya. See you.